“Suara Torang”: Sebuah Catatan Refleksi

0
315

Oleh: Abdul Haris Nepe

Jayapura, Malanesianews, – “Suara BF Suara Torang, Suara Torang Suara BF”, begitulah kalimatnya yang terpampang gagah di setiap instrumen Rumah Suara Torang (RST), mulai dari Photo booth hingga media sosialnya. Penggalan kalimat tersebut lahir dari pergulatan sejarah pangjang seorang Baharudin Farawowan (BF) di atas Tanah Papua.

“Saya mengusung tagline “Suara Torang” atau dalam bahasa Indonesia “Suara Kita”, karena “Suara rakyat adalah suara Tuhan” (Vox Populi Vox Dei). Tagline ini masih eksis hingga saat ini dan itulah demokrasi. Konsekuensi dari tagline ini adalah siapa saja yang memperoleh suara mayoritas dalam sebuah pemilihan maka dia mendapat legitimasi secara spiritual. Spiritual yang dimaksud itu memenangi kehendak Tuhan yang menggerakkan mayoritas hati masyarakat untuk memilih dirinya.”

Kurang lebih seperti itu yang disampaikan oleh Baharudin Farawowan untuk mejelaskan makna terdalam dari tagline “Suara Torang”, terlebih saat dirinya mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif DPR RI Dapil Papua dari PDI Perjuangan.

Tulisan ini hadir karena dipantik dengan hal yang sangat sederhana, yaitu ketika penulis diperintahkan untuk menyusun laporan “Progres Kerja RST” selama 5 bulan terakhir. Setelah menyusun laporan bulan pertama (Juni), muncul pertanyaan yang tak terduga yaitu, Apa itu Suara Torang? mengapa penulis ada di Papua? untuk apa sebenarnya berada di Papua? dan masih banyak lagi pertanyaan yang menggelitik di pikiran. Maka lahirlah tulisan ini sebagai sebuah catatan refleksi dari perjalanan penulis selama 5 bulan di Papua.

Penulis pertama kali membaca atau paling tidak mendengar ungkapan “Suara Torang” yang lengkapnya “Suara BF Suara Torang, Suara Torang Suara BF”, pada saat ditarik ke Jakarta tanggal 19 Mei 2023. Kemudian pada tanggal 22 Mei 2023 kami mengikuti Training of Trainer (TOT), disitulah penulis banyak mendapat penjelasan terntang pandangan umum politik dan pemilu serentak 2024 serta makna dari Suara Torang oleh Abangda Baharudin Farawowan (BF). Singkat cerita, kami lalu diberangkatkan ke Papua pada tanggal 25 Mei 2023. Perjalanan telah dimulai dan wajib diselesaikan.

Bagi panulis, bukan hal mudah untuk memahami apa itu “Suara Torang”. Begitu banyak kekaguman dan rasa ingin tahu yang menggelitik pikiran penulis saat perjalanan dari Jakarta hingga di Papua. Sebut saja, karena penulis belum memahami betul apa itu suara torang.

Sampai disini, penulis ingin katakan, hanya orang dungu yang menyatakan bahwa makna “Suara BF Suara Torang, Suara Torang Suara BF” hanya soal hak pilih yang nantinya disalurkan pada 14 Februari 2024. Lebih dari itu, kalimat tersebut merupakan kristalisasi perjalanan sejarah seorang Baharudin Farawowan sampai pada satu tekat politik untuk berjuang atas nama rakyat sebagai bentuk representasi dari sebaik-baiknya pengabdian.

Suara Torang bukan semata-mata lahir dari ide untuk menggabung-gabungkan kata, tetapi merupakan jahitan sejarah bangsa yang melahirkan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan pergulatan spiritual serta intelektual sosok Baharudin Farawowan.

Hal ini dapat dipahami jika kita menengok pada Falsafah Bangsa (Pancasila), Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Bhineka Tunggal Ika. Di dalam Mukaddimah UUD 1945 dinyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Rumusan ini sangat spiritual, karena Ke-Tauhid-an diletakkan pada posisi utama. Begitu juga dengan butir-butir Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di posisi paling pertama.

Formulasi Pancasila dan UUD 1945 jelas sejalan dengan logika demokrasi yang dibahasa latinkan menjadi “Vox Populi Vox Dei” suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya antara kehendak Tuhan yang terjelma kedalam suara mayoritas rakyat, memiliki frekuensi yang sama dan tidak saling bertentangan, sebuah persenyawaan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Bangsa Indonesia percaya bahwa ada kekuatan di luar kendalinya, yaitu kekuatan makro kosmos, sehingga dalam rumusan dasar negara, nilai ke-Tauhid-an paling utama. Demokrasi Indonesia secara tidak langsung mem-bumi-kan kehendak dan kekuasaan langit kedalam format politik yang dipragakan di bumi Nusantara hingga saat ini.

Dalam bahasanya Kiai Jadul Maula, Pengasuh Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta, ia mengatakan “Indonesia itu bukan negara agama, bukan juga negara sekuler, tetapi negara spiritual.”

Sejalan dengan itu, konsep dasar dari kata “Suara Torang” merupakan kata lain dari kehendak Tuhan yang terjelma dalam suara rakyat mayoritas. Kata “Torang” disini harus dipahami sebagai mayoritas. Jadi, “Suara Torang” itu merupakan suara mayoritas yang di dalamnya bersemayam kehendak dan amanat Tuhan. Oleh karena itu Baharudin Farawowan kemudian merumuskan bahwa hakikat Suara Torang yaitu:

  1. Suara Torang, adalah kekuasaan tertinggi negara di tangan Rakyat dan Tuhan.
  2. Suara Torang, adalah suara Rakyat sama dengan suara Tuhan.
  3. Suara Torang, adalah Rakyat melalui wakil-wakilnya mengatur pemerintahan, dan
  4. Suara Torang, adalah kepentingan Rakyat yang diutamakan.

Menurutnya, memenangkan hati rakyat mayoritas berarti telah mendapat Kehendak/Ridho dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebagaimana pesan wahyu Tuhan dalam Qur’an Surat Al-Imran ayat 26 yang berdasarkan pengertian Departemen Agama “Katakanlah (Nabi Muhammad) wahai Allah Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan kepada siapapun yang Engkau kehendaki. Ditangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Sampai disini, dapat dipahami bahwa “Suara BF Suara Torang, Suara Torang Suara BF” merupakan keyakinan dan keteguhan hati dan pikiran seorang Baharudin Farawowan untuk mengabdi kepada rakyat. Hal tersebut bukan berarti selama ini ia tidak mengabdi, tetapi pengabdian yang sampai pada titik untuk mengupayakan kebaikan dan kebajikan yang besar melalui kekuasaan untuk mengatur kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Puncak dari ke-Iman-an seseorang adalah pengabdian sebagaimana fitrah manusia yaitu sebagai “hamba” sekaligus “khalifah” di bumi. Beriman kepada Tuhan berarti pasrah atas setiap perintah dan larangannya. Sebagai hamba maka manusia hanya menyembah kepada-Nya dan sebagai khalifah di bumi maka manusia mengupayakan kebaikan dan kebajikan bagi manusia lainnya. Itulah wujud Insan Kamil.

Akhirnya, penulis mengahiri tulisan ini dengan mengutip K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) “Tuhan tidak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.”

Jayapura, 11 November 2023

Abdul Haris Nepe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini