Sejarah Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia

0
1983

Jakarta, Malanesianews, – Catatan Sejarah Hari Ini, Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas.

Hari Pendidikan Nasional tak lepas dari peran tokoh pelopor pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara ( Ki Hajar Dewantara ).Beliau digelari sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dengan semboyannya Tut Wuri Handayani.

“Ing Ngarso Sung Tuladha. Ing Madya Mangun Karsa. Tut Wuri Handayani”

(Di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan)

Sejarah dan Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan nasional sekaligus menyandang gelar bapak pendidikan, Beliau merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Pakualaman III yang lahir di daerah Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889, Ki Hajar Dewantara dibesarkan di lingkungan keraton Yogyakarta.Nama asilnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.

Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Berkat perjuanganya dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia hari kelahiranya pada tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Pendidikan dan Awal Karir

Ki Hajar Dewantara bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), Sekolah Dasar pada zaman Belanda. Kemudian beliau melanjutkan sekolah di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputra), merupakan sekolah dokter bagi pribumi di Batavia (sekarang Jakarta) tetapi tidak lulus karena sakit.

Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, SediotomoMidden JavaDe ExpresOetoesan HindiaKaoem MoedaTjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.

Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

Dalam Pengasingan, Hingga Terbentuknya Taman Siswa

Ketika diasingkan di Belanda, Soewardi masuk dalam organisasi yang menjadi wadah bagi para pelajar asal Indonesia. Organisasi tersebut bernama Indische Vereeniging atau yang dalama Bahasa Indonesia dikenal dengan Perhimpunan Hindia. Tahun 1913, Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah biro pers yang bernama Indonesisch Pers-bureau yang dalam Bahasa Indonesia berarti kantor berita Indonesia. Pertama kali inilah penggunaan formal dari istilah Indonesia. Istilah Indonesia ini dulu diciptakan tahun 1850 oleh seorang ahli bahasa dari Inggris yang bernama George Windsor Earl dan seorang pakar hukum dari Skotlandia yang bernama James Richardson Logan.

Di sinilah Soewardi kemudian memulai impiannya meningkatkan kualitas kaum pribumi dengan mempelajari ilmu pendidikan. Hingga akhirnya berhasil mendapatkan Europeesche Akta. Europeesche Akta adalahijazah bidang pendidikan yang bernilai tinggi dan kelak menjadi landasan untuk memulai institusi pendidikan yang didirikannya. Dalam masa hidupnya ini, Soewardi tertarik pada beberapa pemikian sejumlah tokoh pendidikan dari dunia Barat. Contohnya seperti Montesseri dan Frobel, pergerakan pendidikan di negara Asia Selatan khususnya India yang dipimpin keluarga Tagore. Pemikian inilah yang mempangaruhi dan mendasari Soewardi dalam mengembangkan aturan pendidikannya nanti.

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (“di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”).

3 Semboyan ini Bermakna :

  1. Ing Ngarsa Sun Tulodho (Di depan menjadi teladan) Semboyan ini bermakna ketika kita berada di garis depan atau sebagai pemimpin kita harus bisa menjadi teladan dan contoh yang baik bagi orang-orang yang berada di sekitar kita.
    2. Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun semangat) Semboyan ini bermakna ditengah kesibukan yang kita jalani kita harus bisa membangkitkan semangat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
    3. Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan) Semboyan ini bermakana kita harus bisa memberikan semangat dari belakang.

Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Karir Ki Hajar Dewantara Setelah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka, dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada. Karena Ki Hajar Dewantara sangatlah berjasa dalam merintis pendidikan umum. Selain itu, beliau dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya pada tanggal 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional diperingati tiap tahun.

Ki Hajar Dewantara menghembuskan nafas terakhir di Yogyakarta tanggal 26 April 1959. Beliau dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini