Jakarta, Malanesianews, – Aksi pencurian data pribadi diduga kembali terjadi di Indonesia. Kali ini peretas bernama akun Database Shopping mengklaim memiliki 231.636 data pribadi dari database pasien Covid-19.
Data tersebut ia jual di situs terbuka Raid Forums, situs yang juga digunakan hacker untuk menjual data pengguna Tokopedia beberapa waktu lalu.
Data yang dihimpun adalah data sensitif berisi nama, nomor telepon, alamat, hasil tes PCR, dan lokasi tempat pasien dirawat.
Di dalamnya juga terdapat kolom NIK meskipun tidak terisi. Sebagai bukti, hacker tersebut turut melampirkan sampel data yang dimiliki. Sampel tersebut terdiri dari tujuh nama WNI dan tiga WNA dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) di Provinsi Bali.
Peretas mengklaim memiliki database dari daerah lain. “Seperti Jakarta, Bandung, dan lainnya,” klaim peretas di situsnya, Jumat (19/6).
Peretas menjual database, yang diklaim berisi pasien Covid-19 di Indonesia, dengan harga 300 dollar AS atau sekitar Rp 4,2 juta. Lihat Foto Tangkapan layar akun Database Shopping di situs Raid Forums yang mengklaim telah menghimpun data pribadi pasien Covid-19 di Indonesia.
Menurut Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) Pratama Dahlian Persadha, data pribadi yang diduga terkait pasien Covid-19, cukup berisiko karena memuat alamat rumah dan statusnya.
Pratama mengatakan, pelaku peretasan saat ini tidak hanya memburu data kartu kredit. Belum adanya payung hukum yang kuat tentang perlindungan data pribadi di Indonesia, menurut Pratama juga menjadi tantangan.
Saat ini, pemerintah masih berpegang pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) yang menjadi landasan hukum kasus pencurian data.
Namun, menurut Pratama, peraturan tersebut belum kuat. Sebab, aturan itu hanya berisi imbauan untuk penguatan sistem dan tidak menjelaskan sanksi apabila terjadi pencurian data.
Sementara hingga saat ini, Undang-undang Perlindungan Data Pribadi masih belum rampung dibahas.
Hal senada juga diungkap Manajer Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT) Ahmad Alkazimy. Ahmad mengatakan, akibat belum adanya standar keamanan siber yang jelas, setiap institusi menerjemahkan sendiri standar keamanannya.
Lebih lanjut, Ahmad menyarankan agar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang berfungsi sebagai Government Computer Security Incident Response Team (Gov-CSIRT) atau Tim Respons Insiden Keamanan Komputer Pemerintah bisa menciptakan standar keamanan. Misalnya saja mengeluarkan standar minimum keamanan siber bagi pemerintah.
“Seperti sistem operasi, aplikasi, sampai standard port jaringan yang digunakan,” kata Ahmad.