Jakarta, Malanesianews, – Pemerintah Indonesia akan segera meresmikan perdagangan karbon di sektor kehutanan sebagai langkah strategis dalam mengurangi emisi gas rumah kaca serta mendorong pertumbuhan ekonomi hijau. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan bahwa kebijakan ini berpotensi besar dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat serta dunia usaha.
“Perdagangan karbon ini akan menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi,” ujar Raja Juli dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (14/3/2025).
Pada tahap awal, program ini akan mencakup skema pengelolaan hutan oleh pihak swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) serta skema Perhutanan Sosial. Dengan potensi serapan karbon yang bervariasi, PBPH diperkirakan mampu menyerap 20-58 ton setara CO2 per hektare dengan harga berkisar antara USD 5-10 per ton. Sementara itu, Perhutanan Sosial memiliki potensi serapan hingga 100 ton per hektare dengan nilai transaksi mencapai EUR 30 per ton.
Potensi ekonomi dari perdagangan karbon sektor kehutanan ini pun cukup besar. Pada tahun 2025, total potensi perdagangan karbon diperkirakan mencapai 26,5 juta ton dengan nilai transaksi berkisar antara Rp1,6 hingga Rp3,2 triliun per tahun. Jika dikelola secara optimal hingga tahun 2034, perdagangan karbon sektor ini berpotensi menghasilkan Rp97,9 hingga Rp258,7 triliun per tahun, dengan kontribusi pajak sekitar Rp23-60 triliun serta PNBP Rp9,7-25,8 triliun per tahun.
Selain aspek ekonomi, program perdagangan karbon ini juga berpeluang menciptakan sekitar 170 ribu lapangan kerja di berbagai daerah, seiring dengan upaya konservasi dan reforestasi melalui pendekatan Afforestation, Reforestation, and Revegetation (ARR).
Untuk memperkuat daya saing Indonesia dalam perdagangan karbon global, pemerintah tengah menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga internasional, termasuk Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo. Kesepakatan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan lembaga-lembaga tersebut ditargetkan rampung pada Mei 2025. Selain itu, pemerintah juga tengah merevisi regulasi terkait perdagangan karbon guna meningkatkan efektivitas serta transparansi pelaksanaannya.
“Dengan langkah-langkah strategis ini, perdagangan karbon di sektor kehutanan diharapkan dapat menjadi pilar utama dalam pembangunan ekonomi hijau Indonesia serta memperkuat komitmen kita dalam mitigasi perubahan iklim,” pungkas Raja Juli.