Jayapura,Malanesianews – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Papua mengungkapkan bahwa jenis sagu yang berasal dari Kabupaten Jayapura belum mendapatkan proteksi yang memadai. Menurut peneliti BRIN Papua, Albert Soplanit, langkah proteksi ini bertujuan untuk melindungi sagu asli agar tidak dicaplok oleh daerah lain. Albert menjelaskan bahwa sejumlah bibit sagu dari Kabupaten Jayapura telah dibawa keluar daerah, seperti ke Meranti, Riau.
Sebagai upaya untuk melindungi keberadaan sagu asli, BRIN bekerja sama dengan Balitbangda Kabupaten Jayapura melakukan penelitian yang mengidentifikasi 26 aksesi atau karakteristik sagu di beberapa distrik, antara lain Sentani, Sentani Timur, Sentani Barat, Kemtuk Gresi, dan Yokari. Sejak tahun 2021, BRIN telah mendaftarkan tujuh aksesi sagu, diikuti oleh dua aksesi pada tahun 2022. Rencananya, pada tahun 2023 akan dilakukan pelepasan tiga varietas sagu, yaitu Sagu Rondo, Yebha, dan Dowbeta.
Albert menjelaskan bahwa proses pelepasan varietas sagu ini melibatkan beberapa tahapan, seperti pendaftaran, identifikasi berdasarkan morfologi batang, pelepah, dan daun, serta karakteristik produksi sagu. Setelah mendapatkan data yang cukup, BRIN akan menyusun laporan dan proposal pengajuan ke Kementerian Pertanian. Kemudian, dilakukan uji banding dengan varietas sagu dari daerah lain untuk membandingkan sisi produksinya. Namun, hingga saat ini, belum ada satu pun varietas sagu dari Kabupaten Jayapura yang telah dilepas, sementara beberapa daerah seperti Riau, Sulawesi Barat, dan Maluku telah melakukan pelepasan varietas sagu.
Pada penilaian varietas sagu, faktor produksi menjadi salah satu pertimbangan penting. Contohnya, Sagu Rondo memiliki produksi yang rendah, namun memiliki kelebihan dapat langsung dikonsumsi setelah panen. Selain itu, kualitas sagu Papua juga bervariasi, seperti Sagu Pharaa yang hampir mencapai satu ton hasil produksi menurut penilaian Prof. Yamamoto dari Jepang. Sagu Dowbeta yang telah diperiksa memiliki produksi basah sekitar 800-900 kilogram. Perbedaan utama sagu di Kabupaten Jayapura adalah sagu Rondo yang memiliki umur panjang sebagai pembatas tanah, namun dapat dipanen saat masih muda.
Pelepasan varietas sagu ini diharapkan dapat memberikan justifikasi dan pengakuan resmi terhadap sagu tersebut, sehingga dapat dikembangkan dan diperdagangkan secara lebih luas. Selain memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat, hal ini juga berpotensi sebagai sumber pendapatan daerah karena bibit sagu yang dilepaskan telah bersertifikat.
Namun, Albert menyampaikan keprihatinannya bahwa saat ini belum ada upaya yang cukup untuk melindungi sagu di Kabupaten Jayapura, karena belum ada satu pun sagu yang mendapatkan pengakuan secara resmi. Albert mengungkapkan harapannya bahwa pemerintah daerah dapat lebih menyadari perlunya proteksi sagu sebagai warisan budaya yang berharga. Jika sagu yang menjadi identitas dan kekayaan daerah ini hilang, hanya cerita yang bisa diceritakan kepada generasi mendatang, tanpa dapat mengklaim hak kepemilikannya jika sagu tersebut telah dilepas oleh daerah lain.
(agengrdyndr)