Jakarta, Malanesianews, – Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada tahun 2020 mengalami penurunan. Indonesian Corruption Watch (ICW) tak terkejut atas hal tersebut dan telah menduga ada tiga alasan yang melatarbelakangi penurunan itu.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menjelaskan alasan pertama ialah ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi. ICW memantau sepanjang 2020, pemerintah dan DPR mengundangkan beberapa aturan yang dianggap mementingkan oligarki seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Pemerintah maupun DPR hanya mengakomodir kepentingan elit dalam kerangka investasi ekonomi dan mengesampingkan pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Adnan pada, Jumat (29/1).
ICW menyoroti legislasi yang dapat menjadi suplemen bagi penguatan pemberantasan korupsi justru diabaikan. Contohnya revisi UU Tindak Pidana Korupsi, Rancangan UU Perampasan Aset, dan Rancangan UU Pembatasan Transaksi Tunai.
“Harusnya dapat dijadikan prioritas agenda. Namun, berbagai regulasi penting itu justru menggantung tanpa pembahasan,” ujar Adnan.
Penyebab turunnya IPK Indonesia, lanjut Adnan akibat kegagalan reformasi penegak hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi. Merujuk pada data KPK, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis di sepanjang tahun 2020 mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan.
“Akan tetapi, penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul,” ujar Adnan.
Faktor ketiga turunnya IPK Indonesia diduga ICW karena turunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi. ICW memantau para Komisioner KPK baru hanya melahirkan kontroversi ketimbang prestasi. Adnan menilai mundurnya kinerja KPK tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik Pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini.
“Padahal KPK selama ini merupakan salah satu pilar penting pemberantasan korupsi yang menunjang kenaikan skor CPI Indonesia,” ungkap Adnan.
Atas dasar itulah, ICW mendesak Pemerintah memprioritaskan program legislasi nasional pada perbaikan UU Tipikor, UU Perampasan Aset, UU Pembatasan Transaksi Tunai, dan mengembalikan semangat UU KPK lama melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk membatalkan perubahan Undang-Undang KPK.
ICW juga meminta Presiden Joko Widodo memastikan program pencegahan korupsi berjalan efektif di semua lembaga pemerintahan, termasuk BUMN dan BUMD.
“Harus disadari pemberantasan korupsi yang berhasil tidak dengan mengecilkan peran penindakan korupsi, tapi menempatkan pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagai ujung tombak yang sama kuat dan berdaya,” tegas Adnan.
Diketahui, Indonesia mengalami penurunan IPK berdasarkan riset yang dilakukan Transparancy International Indonesia (TII). Indonesia berada di posisi ke-102 dengan nilai 37, dengan asumsi nilai 0 terendah dan 100 tertinggi. IPK Indonesia mengalami kemerosotan sebesar tiga poin menjadi 37 dari sebelumnya berada pada skor 40 pada 2019.
IPK Indonesia berada di posisi kelima se-Asia Tenggara. NKRI berada di bawah negara tetangga seperti Singapura dengan skor 85, Brunei Darussalam dengan skor 60, Malaysia dengan skor 51 dan Timor Leste dengan skor 40.